Mengenal Cianjur dari Berbagai Sudut

Sosial Media Panggung Flexing Masyarakat Yang Haus Validasi

1

–  Pada era digital yang semakin maju, praktik flexing atau pamer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Fenomena ini tidak hanya sekadar berbagi momen, tetapi telah menjadi kebiasaan baru yang membentuk identitas dan status sosial seseorang.

Flexing atau pamer merupakan sebuah praktik dalam memamerkan kekayaan material, prestasi dan gaya hidup.

Dari video singkat di TikTok hingga galeri foto di Instagram, media sosial telah menjadi panggung utama bagi orang-orang untuk menampilkan segala sesuatu mulai dari harta kekayaan hingga pencapaian pribadi. Tak heran, aktivitas flexing menjadi hal yang digemari oleh beragam kalangan, termasuk masyarakat umum, selebriti, bahkan pejabat publik.

Kompetisi dalam melakukan flexing semakin memanas, dengan setiap individu berlomba-lomba memamerkan segala hal yang dianggap dapat meningkatkan citra dan status sosial mereka. Mulai dari mobil mewah, barang-barang branded, hingga prestasi yang membanggakan, semuanya menjadi bahan pamer yang seringkali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Baca Juga:

 Childfree Jadi Fenomena yang Digaungkan Anak Muda Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi digital telah menjadi katalisator utama dalam memperkuat perilaku flexing ini. Dengan jumlah pengguna internet yang terus meningkat, terutama di , media sosial telah menjadi saluran utama bagi mereka untuk menunjukkan eksistensi dan keberhasilan mereka.

Namun, di balik gemerlapnya tampilan di media sosial, tersembunyi sebuah paradigma baru yang mulai mengemuka. Persepsi bahwa kekayaan dan gaya hidup hedonis adalah kunci untuk meningkatkan status sosial dan prestise, secara perlahan mulai meresap ke dalam pikiran masyarakat.

Dilansir dari Kompas.com dalam masyarakat modern yang didorong oleh teknologi dan media sosial, praktik flexing bukan hanya sekadar bentuk pamer. Bagi banyak orang, itu adalah untuk membuktikan eksistensi dan kemampuan mereka. Dalam dunia di mana gambaran keberhasilan sering diukur dari seberapa sering seseorang muncul di layar ponsel, flexing telah menjadi bahasa yang universal, menggantikan “no picture, no proof”.

Sebagai hasil dari perubahan ini, sosial media telah menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. Bagi generasi muda yang haus akan validasi, sosial media adalah panggung utama di mana mereka dapat menampilkan diri mereka, menunjukkan keberhasilan mereka, dan memperoleh pengakuan dari orang lain. Dengan demikian, praktik flexing telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya digital kita, memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan interaksi sosial.

Flexing, pada dasarnya, merupakan bentuk dari perilaku narsisme, yang sering kali muncul dari perasaan tidak aman dan rendah diri yang dialami oleh pelakunya. Dengan memamerkan kekayaan dan pencapaian mereka, individu berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain sebagai untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka.

Namun, kita juga harus menyadari bahwa praktik flexing tidak selalu membawa dampak yang positif. Terlalu obsesif dengan pencitraan diri dan terlalu fokus pada pencapaian material dapat mengaburkan nilai-nilai yang lebih penting dalam kehidupan, seperti kedermawanan, empati, dan hubungan sosial yang sehat.

Baca Juga:

 3 Tempat Ngabuburit Suasana Alam Di Cipanas, Asyik Banget

Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya menjadi panggung untuk flexing, tetapi juga sebagai cermin bagi nilai-nilai dan kepribadian individu. Masyarakat juga harus menjadi agen kontrol sosial yang bertanggung jawab, membantu mengarahkan penggunaan media sosial menuju hal-hal yang lebih positif dan bermakna bagi diri mereka dan juga masyarakat luas.

Meski fenomena flexing di media sosial memang mencerminkan dinamika dan kompleksitas dari kehidupan modern dan menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan meraih kesuksesan. Kita semua juga perlu berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perangkap pencitraan diri yang terlalu berlebihan.

Tidak hanya sebagai panggung yang penuh dengan sorotan dan pengakuan, namun juga memiliki kesadaran dan keseimbangan yang tepat dalam memastikan bahwa kita tidak kehilangan jati diri dalam setiap prosesnya.

 

1 Comment
  1. […]  Sosial Media Panggung Flexing Masyarakat Yang Haus Validasi […]

Leave A Reply

Your email address will not be published.