Mengenal Cianjur dari Berbagai Sudut

Sejarah Panjang Umat Kristen di Kabupaten Cianjur

0

Kabupaten , yang sering disebut sebagai gudang pesantren, menyimpan sejarah panjang tentang keberadaan umat Kristen yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Meskipun mungkin tidak banyak diketahui orang, komunitas Kristiani di kota ini telah mencapai generasi ke-5. Lantas, bagaimana agama Kristen bisa berkembang di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim dan beragam tradisi keislaman?

Menurut cerita yang diceritakan oleh Dadan, salah satu sesepuh , agama Kristen datang ke pada masa pemerintahan Dalem Aria Wiratanu II (1691-1707) yang berkaitan dengan kedatangan serombongan pedagang Portugis. Sebagai bentuk penghargaan dan toleransi, Dalem Wiratanu II memperbolehkan para pedagang tersebut tinggal di sebuah wilayah di pinggiran Sungai Citarum. Wilayah ini sekarang dikenal dengan nama Gunung Halu, yang menjadi tempat tinggal bagi komunitas orang-orang Nasrani (Kristen) di .

Namun, versi resmi dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon memberikan cerita yang sedikit berbeda. Menurut Yudi, salah satu anggota gereja, keberadaan umat Kristen di dimulai dari permintaan pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Raden Prawiradireja II (1862-1910) pada tahun 1901. Pemerintah Belanda meminta Bupati yang ke-10 untuk menyediakan lahan kosong bagi komunitas Kristen pribumi yang berada di bawah bimbingan NZV (Nederlandsche Zendings Vereeniging), sebuah organisasi misi Injil dari Belanda.

Pada saat itu, orang-orang Sunda yang memutuskan untuk memeluk agama Kristen menghadapi situasi yang sulit. Mereka menghadapi intimidasi, penganiayaan, bahkan pembunuhan, dan tidak diakui oleh keluarga mereka sendiri. Agama Kristen saat itu diidentikkan sebagai agama orang Belanda, sehingga tidak heran jika keberadaan mereka ditolak oleh keluarga besar mereka. Raistiwar Pratama, seorang peneliti dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), mengungkapkan bahwa situasi tersebut merupakan tantangan besar bagi komunitas Kristen Sunda pada masa itu.

Setelah berhasil mengumpulkan tujuh pengikut Kristen pribumi, seorang anggota NZV bernama B.M. Alkema meminta petunjuk kepada Bupati untuk menentukan lokasi yang bisa mereka tempati. Bupati Raden Prawiradireja II memberikan wewenang kepada seorang wedana bernama Sabri untuk mengarahkan mereka. Rombongan itu kemudian bergerak menuju timur Cianjur, menyusuri aliran sungai Cisokan dan Citarum. Saat mereka mendekati wilayah yang sekarang dikenal sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), seorang anggota rombongan terperosok ke dalam jurang. Beruntung, nyawanya berhasil diselamatkan.

Setelah menyelamatkan anggota rombongan yang terperosok, mereka tidak kembali ke tempat asal, melainkan memutuskan untuk menjelajahi bagian lain tebing tersebut. Akhirnya, mereka menemukan sebuah hutan belantara dengan tanah yang agak datar. Alkema merasa bahwa tempat ini cocok bagi mereka. Setelah memeriksa beberapa sudut kawasan itu, ia menancapkan tongkatnya di salah satu tempat tersebut dan memutuskan bahwa tempat itu akan menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang Kristen Sunda.

Mereka mulai membabat hutan dan membangun pemukiman sederhana di kawasan tersebut. Gereja pertama mereka, yang terbuat dari ilalang atau “eurih” dalam bahasa setempat, didirikan sebagai gereja darurat. Pada tanggal 17 Agustus 1902, kebaktian pertama diadakan, dan komunitas jemaat secara resmi memberi nama kampung mereka “Palalangon,” yang memiliki arti “menara” dalam bahasa Sunda.

Meskipun memeluk agama Kristen, komunitas Kristen di Palalangon tidak menjadikan diri mereka eksklusif. Selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), mereka jelas memihak kepada Republik. Bahkan, Palalangon pernah dijadikan markas oleh sebuah kesatuan tentara republik yang dipimpin oleh Sersan Kentjong. Ini menunjukkan komitmen mereka terhadap perjuangan kemerdekaan. Orang-orang Kristen Palalangon juga mendapat jaminan perlindungan dari Lasykar Hizbullah selama masa perang tersebut. Mereka bahkan memberikan sumbangan berupa dua ekor kuda tunggangan dan mesin tik kepada Lasykar Hizbullah Cabang Ciranjang untuk mendukung mobilitas dan administrasi.

Sejarah umat Kristen di Kabupaten Cianjur mencerminkan perjalanan mereka yang penuh tantangan dan perjuangan. Meskipun menghadapi penolakan dan kesulitan, mereka berhasil mempertahankan kepercayaan mereka dan memainkan peran penting dalam sejarah lokal. Keberadaan mereka sebagai minoritas yang hidup berdampingan dengan mayoritas Muslim di Cianjur adalah bukti nyata dari kerukunan dan toleransi yang ada di masyarakat.

Sumber: Historia

Leave A Reply

Your email address will not be published.