Mengenal Cianjur dari Berbagai Sudut

Mengungkap Sejarah Tembang Sunda Cianjuran

0

Tembang Sunda Cianjuran, sebuah seni adiluhung yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Kabupaten , memiliki sejarah yang menarik.

Seni ini lahir atas inisiatif dan karya Raden Aria Adipati Kusumahningrat, yang pada masa itu menjabat sebagai Bupati ke VIII.

Raden Aria Adipati Kusumahningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Kanjeng Dalem Pancaniti, sering berada di sebuah ruangan bernama Pancaniti.

Di ruangan inilah beliau beristirahat, bersemedi, serta berkolaborasi dengan para seniman di sekitarnya.

Dari inspirasi yang muncul di ruangan Pancaniti itulah, Dalem Pancaniti berhasil menciptakan seni adiluhung yang sekarang dikenal dengan sebutan Cianjuran.

Dalam Tembang Sunda Cianjuran, terdapat enam wanda atau kelompok lagu yang masing-masing dipengaruhi oleh beberapa jenis kesenian yang telah ada sebelumnya.

Keenam wanda tersebut memberikan warna dan karakteristik yang khas pada Tembang Sunda Cianjuran. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai keenam wanda tersebut:

Papantunan

Dipengaruhi oleh kesenian pantun, wanda ini menggunakan laras pelog degung dengan nada dominan pada nada 2 (mi) dan 5 (la).

Jejemplangan

Juga dipengaruhi oleh kesenian pantun, wanda ini menggunakan laras pelog degung dengan nada dominan pada nada 1 (da) dan 4 (ti). Kadang-kadang dikenal juga dengan istilah Pantun Barang.

Dedegungan

Dipengaruhi oleh kesenian degung, wanda ini menggunakan laras pelog degung dengan nada dominan pada nada 2 (mi), 3 (na), dan 5 (la). Biasanya bermain di nada-nada tinggi.

Rarancagan

Dipengaruhi oleh wawacan/tembang rancag, wanda ini menggunakan pola lagu seperti Pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula (KSAD).

Laras yang digunakan meliputi pelog degung, sorog, salendro, mandalungan, dan wisaya.

Rarancagan adalah wanda dengan jumlah lagu terbanyak dibandingkan dengan wanda lainnya.

Kakawén

Dipengaruhi oleh kesenian wayang golek purwa, wanda ini menggunakan laras pelog degung, sorog, dan salendro. Ciri khasnya adalah penggunaan bahasa Kawi dalam syairnya.

Panambih: Wanda terakhir ini dipengaruhi oleh kawih dan kepesindenan. Laras yang digunakan meliputi pelog degung, sorog, salendro, mandalungan, dan wisaya.

Biasanya Panambih dibawakan setelah lagu pokok sebagai pelengkap sajian.

Dari keenam wanda yang telah disebutkan, lima di antaranya bersifat sekar irama merdika atau bebas ketukan (free metrum), yaitu papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, dan kakawén.

Sementara itu, wanda panambih bersifat sekar tandak atau terikat ketukan.

Pada masa awal penciptaannya, Tembang Sunda Cianjuran dibawakan secara ditambul (solo vokal) tanpa iringan alat musik.

Namun, seiring berjalannya waktu, seni ini mengalami perkembangan dengan penambahan beberapa instrumen pengiring, seperti kacapi indung, suling, kacapi rincik, kacapi kenit, rebab, dan biola.

Tembang Sunda Cianjuran telah menjadi warisan budaya yang berharga bagi masyarakat .

Sejarahnya yang kaya dan perjalanan perkembangannya yang menarik membuat Tembang Sunda Cianjuran tetap hidup dan terus diperdengarkan sebagai bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.