Hubungan Menantu dan Mertua Dalam Islam
Mencuatnya kasus hubungan di luar batas antara seorang pria dengan ibu mertuanya di jagat media sosial hari ini kiranya cukup menarik bagi kita untuk melihat kembali bagaimana syariat menetapkan hubungan keduanya.
Seberapa dekat hubungan mereka? Apa saja konsekuensi dari hubungan itu? Dan bisakah hubungan mereka berakhir seiring dengan berakhirnya perkawinan? Allah telah berfirman dalam Al-Quran :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْماءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَصِهْراً وَكانَ رَبُّكَ قَدِيراً
Artinya, “Dialah (Allah) yang menciptakan manusia dari air (mani). Lalu, Dia menjadikannya mempunyai nasab (hubungan darah) dan shihr (hubungan perkawinan),” (QS. al-Furqan [26]: 54).
Menurut al-Mawardi, makna asal dari shihr adalah ‘percampuran’ sehingga perkawinan juga disebut shihr karena adanya percampuran atau pergaulan antara laki-laki dan perempuan sekaligus melahirkan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. (Lihat: Tafsir al-Mawardi, jilid IV, halaman 151).
Selanjutnya, menurut Ibnu Qutaibah, shihr juga berarti kerabat karena perkawinan, sedangkan nasab berarti kerabat karena hubungan darah atau keturunan.
Dengan kata lain, seperti yang ditegaskan oleh al-Kalabi, nasab adalah orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan kerabat, sedangkan shihr adalah orang-orang yang haram dinikah karena hubungan kerabat dan selain hubungan kerabat. (Lihat: Jamaluddin Abul-Faraj, Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir, jilid III, halaman 325).
Dari hubungan shihr atau perkawinan ini lahir dua bentuk mahram, yaitu mahram muabbad (permanen) dan mahram muaqqat (sementara). Mahram muabbad terdiri dari ibu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu tiri.
Sedangkan mahram muaqqatnya adalah saudara perempuan dan bibi dari perempuan yang dinikahi, yaitu ipar dan bibinya. Dengan demikian, hubungan seorang laki-laki dan ibu mertuanya adalah hubungan mushaharah.
Syariat menetapkan, ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, maka ibu kandung dan nenek perempuan tersebut langsung menjadi mahram muabbad-nya.
وتحرم عليه من جهة المصاهرة أم المرأة دخل بها أو لم يدخل، لقوله تعالى (وأمهات نسائكم) ويحرم عليه كل من يدلى إلى إمرأته بالامومة من الجدات من الاب والام
Artinya: “Karena sebab mushaharah (perkawinan), ibu si perempuan yang dinikahi menjadi mahram bagi si laki-laki, baik sudah digauli ataupun belum, berdasarkan ayat: ‘(Diharamkan bagi kalian) para ibu dari istri-istri kalian,’ (QS. an-Nisa’ [4]: 23). Demikian pula menjadi mahram semua perempuan yang memiliki hubungan keibuan dengan perempuan tersebut, yaitu nenek-neneknya, baik nenek dari ayah maupun nenek dari ibu,” (Lihat: al-Imam an-Nawawi, [Majmu’ Syarh al-Muhadzab], jilid XVI, halaman 216).
Berdasarkan petikan di atas, walaupun baru sekadar akad dan belum berhubungan suami-istri, seorang laki-laki langsung memiliki hubungan mahram muabbad dengan ibu perempuan yang dinikahinya (mertua).
Konsekuensi mahram muabbad adalah mahram selamanya. Artinya, tidak ada bekas mertua walaupun si laki-laki tadi sudah bercerai dengan istrinya.
Konsekuensi lainnya adalah si laki-laki tidak batal wudhu jika bersentuhan dengan ibu mertuanya. Di sisi lain, si ibu mertua juga memiliki batasan aurat yang lebih longgar layaknya batas aurat seorang perempuan di hadapan mahramnya, yaitu antara pusar dan lutut selama terhindar dari fitnah.
Sebagai tambahan, selain melahirkan hubungan mahram muabbad dengan ibu mertua, hubungan mushaharah seorang laki-laki juga melahirkan hubungan mahram muabbad dengan anak tiri perempuannya (jika ada) setelah adanya pergaulan suami-istri, serta melahirkan hubungan mahram muaqqat dengan saudari iparnya atau bibi istrinya.
ويحرم عليه ابنة المرأة بنفس العقد تحريم جمع، لانه إذا حرم عليه الجمع بين المرأة وأختها، فلأن يحرم الجمع بين المرأة وابنتها أولى
Arinya: “Juga haram bagi (si laki-laki) menikahi anak perempaun istrinya (anak tiri) dalam satu akad (bersamaan) karena haram menggabungkan. Logikanya, ketika haram menggabungkan seorang perempuan dengan saudarinya, maka lebih haram lagi menggabungkan antara seorang perempuan dengan anaknya. (Lihat: An-Nawawi: XVI/216).
Walhasil, setelah menikahi seorang perempuan, maka diharamkan secara permanen menikahi ibu dan anak perempuannya sekaligus, baik dalam waktu bersamaan maupun dalam waktu terpisah.
Meski demikian, menikahi anak tirinya masih dimungkinkan selama telah bercerai dengan ibunya dan belum berhubungan badan dengan ibunya.