Asmin Soetjipta, Sniper dari Cisarandi
Masyarakat CIanjur tidak banyak yang mengenal sosok Asmin Soetjipta alias A. Sucipta. Padahal mantan guru tersebut merupakan salah satu pejuang tersohordari Cianjur pada masa perjuangan dan dikenal sebagai sniper dari Cisarandi.
Asmin sendiri sebenarnya bukan orang Cianjur asli, namun merupakan seorang pendatang dari Rangkasbitung, Banten. Dia ke Cianjur, beberapa tahun sebelum Jepang datang ke Indonesia.
Asmin tinggal di Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, dan menjadi guru di Landbouwschool Bojongkoneng.
Di Cisarandi, Asmin berteman baik dengan Lurah Cisarandi pada kala itu, yakni Muhammad Toib Zamzami. Bahkan akhirnya dengan kedekatannya tersebut Asmin dijodohkan dengan anak pak Lurah untuk menikahi Sitti Aisyah dan dikaruniai dua putra.
Asmin juga menjadi ‘jawara’ yang menjaga keamanan desa yang berada kawasan Jalan Raya Cianjur-Sukabumi. Bukan hanya karena statusnya yang merupakan menantu lurah, kepercayaan itu diberikan lantaran Asmin dikenal menguasai ilmu beladiri pencak silat.
Aksi perjuangan Asmin bermula pada 1945-1946. Pada saat itu jalan raya di Desa Cisarandi kerap dilewati oleh konvoi tentara-tentara Inggris dari kesatuan Jats, Rajuptana dan Patiala yang berkebangsaan India.
Para prajurit ternyata sering bertindak di luar kontrol, mulai dari mengganggu gadis-gadis bahkan tak jarang merampok harta benda penduduk Cisarandi.
Hal itu membuat Lurah Cisarandi berang. Asmin pun diajak mertuanya untuk mengadakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pasukan-pasukan Inggris itu.
Asmin pun diminta untuk mengambil senjata dari pasukan musuh. Esoknya, Asmin sudah berangkat ke wilayah Cianjur kota dengan berjalan kaki. Ketika di pertigaan Kampung Tangsi (sekarang depan Gedung BRI Cianjur di Jalan A.Sucipta), ia berpapasan dengan beberapa orang serdadu Inggris.
Dengan cepat, ia membekuk salah seorang prajurit yang berjalan paling belakang dengan pencak silatnya. Usai prajurit dilumpuhkan, Asmin lalu merampas senapan Lee Enfield milik prajurit itu.
Usai mendapatkan senjata, Asmin pun kabur ke arah jalur rel kereta api yang berada di sebelah timur Kampung Tangsi. Kendati sempat ditembaki kawan-kawan serdadu yang dirampas senjatanya itu, Asmin bisa lolos dan dengan menyusuri rel kereta api. Ia berjalan menuju Cisarandi.
Asmin ini berhasil mendapatkan tiga pucuk senjata api. Sempat ketahuan dan diberondong peluru, tapi berhasil melarikan diri dan kembali ke Cisarandi.
Dengan bangga Asmin pun menghadap mertuanya sambil menenteng Lee Enfield hasil rampasannya. Lurah Toib tentu saja menyambut gembira atas keberhasilan menantunya mendapatkan senjata.
Namun sayangnya saat itu tidak ada pemuda di Cisarandi yang bisa, apalagi mahir menggunakan senjata. Sehingga pada akhirnya Asmin pergi bertemu dengan para pejuang laskar untuk meminta diajarkan menggunakan senjata.
Hanya beberapa minggu dilatih, ia berhasil menguasai senjata buatan Inggris itu. Bahkan keterampilan Asmin ini menjadikannya seorang penembak jitu.
Menurut cerita dari keturunan Asmin, dalam suatu penghadangan di jalan raya Sukabumi-Cianjur, Asmin pernah menghabisi 11 serdadu Inggris dari jarak 500 meter menggunakan ‘Si Dukun’ (panggilan untuk Lee Enfield pegangan Asmin).
Suara ledakan perluru ‘Si Dukun’ itu terdengar seperti dua kali. Dan untuk saat itu, jarak 500 meter sudah sangat jauh dengan hanya mengandalkan senjata tersebut. Sehingga Asmin ini dikenal dengan sniper dari Cisarandi.
Sukses memimpin sejumlah penghadangan dan perampasan senjata, Asmin lantas membentuk pasukan yang diberi nama LASPO (Laskar Pesindo/Pemuda Sosialis Indonesia). Selanjutnya pasukan yang dipimpin Asmin berkoordinasi dengan unsur-unsur pasukan Divisi Siliwangi.
Saat para petarung republik aktif memerangi tentara Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia pada 1947-1949, pasukan Asmin Soetjipta termasuk di dalamnya.
Pada suatu penghadangan di wilayah Bojongkoneng, pasukan Asmin menghabisi satu peleton KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan merampas sejumlah senjata.
Aksi-aksi Asmin dan pasukannya ternyata membuat gerah pihak militer Belanda di Cianjur. Bahkan Asmin sempat diburu hingga ke markas pasukannya di Cisarandi. Namun mereka tak menemukan Asmin, rumah-rumah pun kosong ditinggalkan.
Akhir perjuangan Asmin terjadi pada 1948 usai dijebak Belanda melalui sepucuk surat. Saat itu Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Namun keharusan itu tidak berlaku untuk sebagian kecil pejuang republik di Jawa Barat yang memilih tetap bertarung dengan militer Belanda. Pasukan Asmin adalah salah satu kesatuan yang menolak untuk berangkat hijrah.
Beberapa bulan pascahijrahnya Divisi Siliwangi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, suatu hari tiba-tiba Asmin menerima sepucuk surat yang ditandatangani oleh atasannya di Bogor.
Merasa yakin dengan surat yang ditandatangani oleh pimpinannya, Asmin lantas menuruti perintah surat tersebut. Dengan menggunakan beberapa truk milik KNIL, mereka kemudian diangkut ke Sukabumi.
Namun betapa marah dan terkejutnya mereka. Begitu sampai di Sukabumi alih-alih dibawa ke meja perundingan, Asmin justru langsung dijebloskan ke penjara.
Asmin berserta dua orang pasukannya yakni Oking dan Satibi beberapa hari kemudian digiring ke Kampung Dereded Bogor. Di sanalah penembak jitu dan kedua anak buahnya itu menyambut sang maut dengan tabah dan sikap yang gagah.
Begitulan perjuangan “Asmin, Sniper dari Cisarandi”. Pahlawan dari Cianjur