Sosial Media Panggung Flexing Masyarakat Yang Haus Validasi
CIANJUR – Pada era digital yang semakin maju, praktik flexing atau pamer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Fenomena ini tidak hanya sekadar berbagi momen, tetapi telah menjadi kebiasaan baru yang membentuk identitas dan status sosial seseorang.
Flexing atau pamer merupakan sebuah praktik dalam memamerkan kekayaan material, prestasi dan gaya hidup.
Dari video singkat di TikTok hingga galeri foto di Instagram, media sosial telah menjadi panggung utama bagi orang-orang untuk menampilkan segala sesuatu mulai dari harta kekayaan hingga pencapaian pribadi. Tak heran, aktivitas flexing menjadi hal yang digemari oleh beragam kalangan, termasuk masyarakat umum, selebriti, bahkan pejabat publik.
Kompetisi dalam melakukan flexing semakin memanas, dengan setiap individu berlomba-lomba memamerkan segala hal yang dianggap dapat meningkatkan citra dan status sosial mereka. Mulai dari mobil mewah, barang-barang branded, hingga prestasi yang membanggakan, semuanya menjadi bahan pamer yang seringkali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Baca Juga:
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi digital telah menjadi katalisator utama dalam memperkuat perilaku flexing ini. Dengan jumlah pengguna internet yang terus meningkat, terutama di Indonesia, media sosial telah menjadi saluran utama bagi mereka untuk menunjukkan eksistensi dan keberhasilan mereka.
Namun, di balik gemerlapnya tampilan di media sosial, tersembunyi sebuah paradigma baru yang mulai mengemuka. Persepsi bahwa kekayaan dan gaya hidup hedonis adalah kunci untuk meningkatkan status sosial dan prestise, secara perlahan mulai meresap ke dalam pikiran masyarakat.
Dilansir dari Kompas.com dalam masyarakat modern yang didorong oleh teknologi dan media sosial, praktik flexing bukan hanya sekadar bentuk pamer. Bagi banyak orang, itu adalah cara untuk membuktikan eksistensi dan kemampuan mereka. Dalam dunia di mana gambaran keberhasilan sering diukur dari seberapa sering seseorang muncul di layar ponsel, flexing telah menjadi bahasa yang universal, menggantikan “no picture, no proof”.
Sebagai hasil dari perubahan ini, sosial media telah menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. Bagi generasi muda yang haus akan validasi, sosial media adalah panggung utama di mana mereka dapat menampilkan diri mereka, menunjukkan keberhasilan mereka, dan memperoleh pengakuan dari orang lain. Dengan demikian, praktik flexing telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya digital kita, memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan interaksi sosial.
[…] Sosial Media Panggung Flexing Masyarakat Yang Haus Validasi […]