Mengenal Cianjur dari Berbagai Sudut

Tidak Berpuasa di Bulan Ramadhan, Tetapi Wajib Mengqadanya.

0

Hukum berpuasa di bulan adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat. Ada sejumlah orang yang boleh tak berpuasa tetapi wajib qadha puasa itu di luar waktu bulan :

Wanita yang Haid dan yang Nifas
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa para ulama menyepakati bahwa perempuan haid dan nifas haram berpuasa di bulan . Apabila mereka masih saja berpuasa, maka puasanya itu tidak sah.

Karena pengharaman itu, wanita haid wajib mengganti puasa di waktu lain setelah berakhirnya bulan Ramadhan.

Dikatakan bahwa Nabi SAW pernah menyatakan bahwa perempuan haid tidak dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, ia berkata:

كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Artinya: “Saat mengalami haid di masa Rasulullah dahulu, kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqada shalat.” (HR Bukhari, Muslim, & An-Nasa’i)

Abdul Syukur Al-Azizi dalam Buku Lengkap Fiqh Wanita menyebutkan bahwa wanita yang mengalami nifas baginya juga dilarang berpuasa di bulan Ramadhan sehigga wajib qada di lain waktu.

Sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, ‘Hukum perempuan yang nifas sama dengan hukum wanita haid dalam seluruh perkara yang diharamkan dan kewajiban yang gugur bagi mereka. Dan kami tidak mengetahui ada perselisihan dalam masalah ini.’

Orang yang Sakit
Jumhur ulama menyepakati bahwa orang yang sakit boleh tidak berpuasa sebagaimana disebutkan dalam buku Mereka Yang Boleh Tidak Puasa oleh Ahmad Hilmi. Yang menjadi dalil dasarnya adalah firman Allah pada Surah Al-Baqarah ayat 184:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

Arab Latin: fa mang kāna mingkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar

Artinya: Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

Imam Nawawi berpandangan bahwa orang yang sekadar sakit ringan tidak mengandung unsur kesulitan dan berat yang tampak jelas dirasakan, maka baginya tetap harus berpuasa .

Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Fiqih Praktis Sehari-hari oleh Farid Nu’man Hasan menambahkan, bahwa sakit yang dibolehkan berbuka puasa adalah sakit yang berat. Yang bila ia berpuasa maka akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, atau rasa sakitnya semakin bertambah sehingga kesembuhannya menjadi lebih lama.

Musafir atau Orang yang Bepergian
Kalam Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 184 juga menyatakan bila orang yang berada dalam perjalanan boleh tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti di waktu lain sebanyak hari yang ia tidak berpuasa.

Dalam Fikih Jumhur oleh Muhammad Na’im Muhammad Hani Sa’i, dijelaskan bahwa madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i memahami safar (perjalanan) yang dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan adalah bepergian yang di dalamnya boleh mengqashar sholat.

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam Fikih Ibadah oleh Hasan Ayyub, tidak membolehkan musafir untuk qashar sholat dan berbuka puasa Ramadan bila perjalanannya kurang dari empat barid, sama dengan 48 mil atau 98 kilometer.

Adapun orang yang bepergian dengan pesawat, kapal maupun mobil, bila perjalanannya layak disebut safar maka baginya boleh tidak berpuasa Ramadan, demikian menurut Syekh Abdul Aziz bin Baz mengutip Fiqih Praktis Sehari-hari.

Leave A Reply

Your email address will not be published.