Mengenal Cianjur dari Berbagai Sudut

Revisi UU Pilkada, Keputusan MK Dinilai Memperumit Pilkada 2024

0

Hasil revisi UU Pilkada yang baru-baru ini disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah telah menimbulkan kontroversi yang signifikan di kalangan ahli hukum dan masyarakat umum.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana (Unud), Yohanes Usfunan, telah memberikan penilaian kritis terhadap revisi ini. Yohanes menilai bahwa perubahan tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan berpotensi mengandung cacat hukum. Artikel ini akan membahas pandangan Yohanes, rincian perubahan dalam revisi UU Pilkada, serta implikasi hukum dan politik dari perubahan tersebut.

Guru Besar Yohanes Usfunan menilai bahwa revisi UU Pilkada yang baru disahkan memiliki ketidaksesuaian dengan putusan MK. Dalam pandangannya, setiap perubahan yang dilakukan terhadap keputusan MK seharusnya tidak diperbolehkan, mengingat MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi dan hukum tertinggi. “Ya, boleh. (Revisi UU Pilkada yang telah disahkan) boleh digugat lagi dan diuji lagi di MK,” tegas Yohanes dalam wawancara dengan detikBali pada Rabu, 21 Agustus 2024.

Baca Juga: 

Lambang Garuda Biru “Peringatan Darurat” Semua Dimedia Sosial

Yohanes menggaris bawahi pentingnya menghormati keputusan MK dan menganggap bahwa UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK seharusnya dianggap batal demi hukum. Yohanes menjelaskan, “jikalau secara hierarkis juga bertentangan, harus batal demi hukum. Itu bertentangan dengan teori pembentukan perundang-undangan. Jadi, (putusan MK) itu satu huruf pun jangan sampai dikurangi.” Yohanes berpendapat bahwa revisi yang dilakukan DPR seharusnya tidak mengubah ketentuan yang sudah ditetapkan oleh MK dan bahwa DPR harus memiliki waktu yang cukup untuk memastikan revisi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat serta standar hukum yang berlaku.

Revisi UU Pilkada yang disepakati oleh DPR melibatkan sejumlah perubahan penting dalam ketentuan mengenai syarat pencalonan kepala daerah. Berdasarkan laporan dari detikNews, berikut adalah rincian perubahan yang dimuat dalam Pasal 40 UU Pilkada:

Ketentuan Umum Pencalonan:

Ayat 1: Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan pasangan calon jika memenuhi syarat perolehan suara, yaitu minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah dalam pemilihan umum DPRD di daerah tersebut.

Ketentuan untuk Partai Politik Tanpa Kursi di DPRD Provinsi:

a. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk hingga 2.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 10% suara sah.
b. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk antara 2.000.000 hingga 6.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 8,5% suara sah.
c. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk antara 6.000.000 hingga 12.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 7,5% suara sah.
d. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 6,5% suara sah.
Ketentuan untuk Partai Politik Tanpa Kursi di DPRD Kabupaten/Kota.

a. Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 10% suara sah.
b. Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk antara 250.000 hingga 500.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 8,5% suara sah.
c. Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk antara 500.000 hingga 1.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 7,5% suara sah.
d. Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 6,5% suara sah.

Perubahan signifikan dalam revisi ini termasuk syarat perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang berbeda dari ketentuan yang diatur dalam putusan MK sebelumnya. Putusan MK tidak mencantumkan persyaratan perolehan minimal dari jumlah kursi DPRD atau akumulasi suara sah dalam pemilihan umum DPRD khusus untuk calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik di parlemen.

Perubahan dalam UU Pilkada ini berpotensi menimbulkan konflik norma hukum, terutama dalam konteks kesesuaian revisi dengan UUD 1945 dan keputusan MK. Yohanes Usfunan menekankan bahwa revisi ini mungkin bertentangan dengan teori pembentukan perundang-undangan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Apabila revisi UU Pilkada dianggap bertentangan dengan putusan MK, hal ini bisa berakibat pada pembatalan hukum dan memberikan dasar bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Baca Juga: 

Pada Rapat DPR Sepakat Syarat Usia Pilgub Ikut Keputusan MA

Fenomena ini menyoroti ketidakpastian hukum yang dapat mempengaruhi proses pemilihan kepala daerah. Ketidakpastian mengenai syarat pencalonan dapat menyebabkan tantangan bagi partai politik dan calon yang terpengaruh dalam menyesuaikan strategi mereka. Ini juga menggarisbawahi perlunya perhatian dan pemantauan yang cermat dari semua pihak—baik pemerintah, DPR, maupun masyarakat—untuk memastikan bahwa proses legislasi tetap konsisten dengan prinsip-prinsip hukum dan demokrasi.

Revisi UU Pilkada ini akan terus menjadi topik perdebatan dan pengawasan, menentukan bagaimana proses pemilihan kepala daerah di masa depan akan berlangsung. Masyarakat dan pemangku kepentingan diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi dan evaluasi untuk memastikan bahwa perubahan perundang-undangan benar-benar mencerminkan kepentingan publik dan memenuhi standar hukum yang berlaku.

Leave A Reply

Your email address will not be published.