Kritik Terhadap Keterlibatan Ormas dalam Pengelolaan Tambang
CIANJUR – Presiden Joko Widodo baru-baru ini menandatangani peraturan yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memperoleh izin pengelolaan tambang. Langkah ini telah memicu berbagai kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa kebijakan tersebut bermotif politik, berpotensi memicu konflik horizontal, serta memperburuk kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
Forum Aktivis Cik Di Tiro menuntut PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah dalam aksi yang dilakukan di Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Massa aktivis membentangkan dua spanduk dan sejumlah poster guna mendesak PP Muhammadiyah menolak tawaran tersebut. Salah satu spanduk itu bertuliskan ‘Dipisahkan Qunut, Disatukan Tambang’ yang merupakan sindiran kepada PP Muhammadiyah jika mereka menerima tawaran tambang seperti yang telah dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
PBNU merupakan organisasi yang lebih dulu menerima izin pengelolaan tambang, sedangkan PP Muhammadiyah masih mempertimbangkan keputusan mereka yang akan diumumkan secara resmi lewat pleno pada 27-28 Juni di Convention Hall Masjid Walidah Unisa. Perbedaan dalam pelaksanaan doa qunut antara NU dan Muhammadiyah menjadi simbol sindiran dalam spanduk tersebut, mengingat warga NU mengamalkan doa qunut sedangkan Muhammadiyah tidak.
Baca Juga:
Menikmati Liburan di Little Venice Kota Bunga, Destinasi Hits di Cianjur
Banyak yang menilai bahwa kebijakan ini bermotif politik. Mengizinkan ormas keagamaan mengelola tambang dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mendapatkan dukungan politik dari kelompok-kelompok besar ini. Dukungan dari ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sangat berpengaruh dalam konstelasi politik Indonesia. Dengan memberikan akses kepada sumber daya ekonomi yang signifikan, pemerintah mungkin berharap mendapatkan dukungan yang lebih kuat dalam pemilu atau isu-isu politik lainnya.
Baca Juga:
Keterlibatan ormas dalam pengelolaan tambang juga dapat memicu konflik horizontal. Tambang sering kali menjadi sumber konflik di masyarakat karena berbagai alasan, termasuk masalah kepemilikan lahan, dampak lingkungan, dan distribusi keuntungan. Jika ormas keagamaan terlibat dalam pengelolaan tambang, ada potensi konflik antara anggota ormas dengan masyarakat lokal yang merasa dirugikan. Hal ini dapat memperparah ketegangan sosial yang sudah ada dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.