Krisis Air di Bawah Kaki Gunung, Perjuangan Warga Cianjur Mengatasi Kekeringan Pasca-Gempa
Perkampungan di kaki gunung di Cianjur sering dianggap sebagai tempat dengan sumber air yang melimpah.
Namun, realitas yang berbeda dialami oleh sejumlah desa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang berada hanya beberapa kilometer dari Gunung Gede.
Desa-desa ini telah menghadapi kesulitan mendapatkan pasokan air sejak puluhan tahun lalu.
Sulitnya mendapatkan sumber air telah menjadi masalah yang dirasakan oleh warga kaki gunung di Cianjur, terutama bagi mereka yang mayoritas hidup sebagai petani.
Kehidupan mereka semakin sulit setelah gempa bumi berkekuatan 5.6 magnitudo mengguncang Cianjur pada 21 November 2022.
Gempa tersebut menyebabkan patahan di sebagian besar Kecamatan Cugenang hingga Cianjur, yang berdampak pada hilangnya sumber air baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.
Sejak saat itu, warga terpaksa mengandalkan air hujan yang mereka tampung di kolam-kolam kecil di tengah kebun sebagai sumber air utama.
Namun, ketika musim kemarau tiba, pasokan air menjadi semakin langka. Banyak lahan pertanian terbengkalai karena tidak bisa disiram, memaksa pemiliknya mencari sumber air yang jauh untuk dipipanisasi.
Meskipun beberapa upaya pipanisasi telah dilakukan oleh sebagian petani, namun air yang didapat masih belum mencukupi kebutuhan karena harus dibagi dengan petani lain yang berada lebih dekat dengan sumber air tersebut.
Situasi semakin memprihatinkan ketika sebagian besar lahan pertanian terbengkalai dan digunakan untuk membangun tenda dan hunian darurat akibat kekurangan air.
Namun, ada sinar harapan bagi warga Cianjur. Pemerintah setempat akhirnya memberikan solusi dengan membangun sumur bor yang dapat digunakan bersama oleh tiga kampung di Desa Sukamulya, Cugenang.
Meskipun demikian, sumur bor tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga, sementara untuk mengairi ladang pertanian yang luas, solusi pipanisasi dari sumber mata air di perkebunan teh harus ditempuh.
Bantuan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, swasta, dan organisasi kemanusiaan, mulai mengalir ke wilayah terdampak.
Pipanisasi dan pembangunan sumur bor menjadi fokus utama untuk mengatasi krisis air yang melanda. Sejumlah kilometer pipanisasi telah dibangun di berbagai desa yang kehilangan sumber air setelah gempa, memberikan harapan baru bagi warga.
Pendistribusian air bersih menjadi lebih teratur, bahkan beberapa desa telah membentuk perusahaan air desa untuk mengatur distribusi air secara efisien.
Tarif yang dikenakan kepada warga relatif terjangkau, memastikan layanan air bersih dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Cianjur juga memberikan bantuan berupa sambungan air gratis kepada ribuan keluarga tidak mampu di 17 kecamatan, termasuk bagi 500 keluarga stunting di wilayah kota Cianjur.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan warga, sambil mengurangi beban ekonomi mereka.
Meski demikian, tantangan masih ada di depan. Perubahan lahan dan alih fungsi hutan menjadi ladang atau kebun di bagian hulu sungai harus dihentikan, untuk memastikan pasokan air yang mencukupi bagi masyarakat.
Regulasi yang lebih ketat perlu diterapkan, sementara mitigasi wilayah dan evaluasi tata ruang wilayah harus dilakukan secara berkala.
Kesulitan air mungkin telah menjadi masa lalu bagi sebagian wilayah Cianjur, namun perjuangan warga kaki gunung untuk menjaga pasokan air yang berkelanjutan harus terus dilakukan.
Dengan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, diharapkan Cianjur dapat terhindar dari krisis air yang lebih parah di masa depan.