Kerajaan-Kerajaan di Tatar Sunda Sebelum Cianjur
CIANJUR – Wilayah Jawa Barat, khususnya Tatar Sunda, adalah bagian yang kaya akan sejarah dan budaya yang diwariskan oleh kerajaan-kerajaan kuno. Sebelum dikenal sebagai Kabupaten Cianjur, daerah ini menjadi saksi peradaban besar yang berlangsung berabad-abad lamanya, mulai dari kejayaan Kerajaan Tarumanagara hingga Sunda-Galuh. Melalui perjalanan panjang tersebut, wilayah ini membentuk identitas masyarakat Sunda yang kental dengan adat dan nilai-nilai tradisional yang kita lihat hingga sekarang.
-
Tarumanagara: Titik Awal Peradaban Tatar Sunda
Kerajaan Tarumanagara yang berdiri sekitar abad ke-4 menjadi salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Berdasarkan berbagai prasasti peninggalannya, diketahui bahwa Tarumanagara dipimpin oleh raja-raja besar, seperti Purnawarman. Tarumanagara berpusat di sekitar sungai-sungai besar yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Jawa Barat, yang kemungkinan mencakup wilayah Cianjur saat itu.
Purnawarman dikenal sebagai raja yang bijak dan memiliki perhatian besar pada pembangunan irigasi. Salah satu prasasti yang terkenal, Prasasti Ciaruteun, menyebutkan tentang pembangunan saluran air untuk kebutuhan rakyat. Tindakan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Tatar Sunda pada masa itu sudah sangat memahami pentingnya sistem pengairan bagi pertanian mereka, yang juga menjadi tulang punggung perekonomian (Wibisono, 1994). Melalui upaya ini, Tarumanagara menjadi kerajaan yang cukup makmur dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya.
Baca Juga:
-
Sunda-Galuh: Pemersatu Tanah Sunda
Setelah runtuhnya Tarumanagara, wilayah Sunda terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Galuh, yang kemudian menyatu menjadi Kerajaan Sunda-Galuh pada masa Raja Sanjaya. Sanjaya dikenal sebagai sosok yang memperkokoh kekuasaan di Jawa Barat dan mengembangkan budaya Sunda dengan membawa nilai-nilai Hindu-Buddha.
Pada masa Sunda-Galuh, adat dan bahasa Sunda berkembang sangat pesat, dan pengaruh kerajaan ini bahkan terasa hingga ke pedalaman Jawa Barat. Perpaduan budaya Hindu dan kepercayaan lokal menjadi identitas baru bagi masyarakat Sunda. Prabu Maharaja Linggabuana, salah satu raja Sunda yang paling terkenal, bahkan meninggalkan kisah heroik yang diabadikan dalam tradisi lisan masyarakat Sunda: kisah Perang Bubat. Walau terjadi tragedi dalam perang tersebut, kisah Linggabuana mengajarkan nilai kesetiaan dan keberanian, yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Sunda (Danasasmita, 1984).
-
Masa Peralihan: Pengaruh Islam dan Kesultanan Banten
Pada abad ke-16, ketika Islam mulai berkembang di Tatar Sunda, perubahan besar terjadi. Islam masuk ke wilayah Sunda terutama melalui peran Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Pusat kekuasaan Sunda-Galuh yang dulu kuat mulai melemah dan bergeser ke arah pusat-pusat baru seperti Banten. Di bawah kepemimpinan Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten berhasil menarik banyak pengaruh dari kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Barat, termasuk wilayah Cianjur yang nantinya juga masuk ke dalam pengaruh Islam.
Di sisi lain, pergeseran ini bukan hanya soal agama tetapi juga soal perekonomian. Banten, dengan pelabuhannya yang terbuka untuk perdagangan, menjadi pusat kegiatan dagang yang menghubungkan Jawa dengan berbagai bangsa seperti Portugis, Cina, dan Belanda (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Sementara itu, administrasi dan pembagian wilayah pun perlahan mengalami pengaruh dari sistem kolonial Belanda.
Baca Juga:
Curug Cikurutug Cianjur, Menikmati Keindahan Air Terjun Tiga Tingkat di Pinggir Jalan
-
Warisan Kerajaan Tatar Sunda dalam Identitas Cianjur
Meski kerajaan-kerajaan besar seperti Tarumanagara dan Sunda-Galuh telah lama runtuh, jejak peradaban mereka tak luntur begitu saja. Tradisi, bahasa, dan nilai-nilai yang dibentuk pada masa itu terus diwariskan dan menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat Sunda di masa kini. Wilayah yang kini dikenal sebagai Cianjur adalah bukti bahwa masa lalu yang kaya akan sejarah mampu membentuk budaya dan identitas yang kuat.
Bagi masyarakat Cianjur dan Jawa Barat pada umumnya, warisan ini menjadi kebanggaan tersendiri. Nilai-nilai kearifan lokal, seperti cinta alam, kesetiaan, dan keberanian, masih dijunjung tinggi. Melalui pemahaman akan sejarah ini, kita dapat lebih menghargai identitas Sunda yang telah terbentuk ribuan tahun lalu dan diwariskan dari generasi ke generasi (Iskandar, 2005; Wangsakerta, 1979).
Referensi
– Atja, & Danasasmita, S. (1981). *Carita Parahyangan*. Jakarta: Djambatan.
– Danasasmita, Saleh. (1984). *Sunda: Pola Pemerintahan Lama di Jawa Barat*. Jakarta: Pustaka Jaya.
– Iskandar, Yoseph. (2005). *Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa*. Bandung: Geger Sunten.
– Poesponegoro, Marwati Djoened, & Notosusanto, Nugroho. (1984). *Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno*. Jakarta: Balai Pustaka.
– Wangsakerta, Pangeran. (1979). *Naskah Wangsakerta: Sejarah Kerajaan Sunda*. Cirebon: Keraton Kasepuhan.
– Wibisono, S. W. (1994). *Prasasti Peninggalan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda*. Jakarta: Balai Pustaka.